Oleh:
Drs. P. Pieter Djoka, MT
Widyaiswara Madya pada Badan Diklat
Provinsi NTT
Abstract
Creativity and
innovation are two important concepts in the context of public services in order to improve the quality of service
(excellent service). Legally,
arrangements regarding public service
has been stated in various laws either
include Law 25
of 2009 on Public Service, Law 23 Year 2014
on Regional Government, as well as
some of the government
regulations as a public service law is derived and Local
Government Act. But it is
unfortunate, because in reality the
quality of public services performed
by service providers organizations
is far from satisfactory. For that, we need a number of efforts to encourage the emergence of innovative public services, especially in NTT Province,
through a change in the mindset and the culture,
optimization of “Pelayanan Terpadu
Satu Pintu”, and
local government partnerships with the private sector.
Keywords: decentralization, public services, innovation, NTT Province
Abstrak
Kreativitas dan inovasi merupakan dua
konsep penting dalam konteks pelayanan publik dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan yang semakin baik (excellent
service). Secara legal-formal, pengaturan mengenai pelayanan publik telah
tertuang dalam berbagai undang-undang baik antara lain UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
serta beberapa PP sebagai turunan UU pelayanan publik maupun UU Pemerintahan
Daerah. Namun sangat disayangkan, karena pada kenyataannya kualitas pelayanan
publik yang dilakukan oleh organisasi penyelenggara pelayanan masih jauh dari
memuaskan. Untuk itu, diperlukan sejumlah upaya guna mendorong timbulnya
inovasi pelayanan publik, khususnya di Provinsi NTT, melalui perubahan pola
pikir dan perangkat budaya, optimalisasi pelayanan terpadu satu pintu, dan
kemitraan Pemda dengan swasta.
Kata kunci: otonomi daerah,
pelayanan publik, inovasi, Provinsi NTT
Latar Belakang
Keberadaan negara/pemerintah dan pemerintah daerah beserta aparaturnya selain
menjaga keamanan dan ketertiban adalah untuk memperjuangkan kesejahteraan
rakyatnya. Dengan kata lain, fungsi negara modern pada saat ini tidak hanya
menjadi watchdog, tetapi menjadi ‘pelayan’ bagi warganya untuk memperoleh
kesejahteraan. Oleh karena tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pelayanan
merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan
abdi masyarakat. Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek
kehidupan masyarakat yang sangat luas. Namun sangat disayangkan, kondisi pelayanan
publik yang terjadi masih jauh dari harapan. Pelayanan publik masih cenderung
korup, diskriminatif, mahal, lama, dan berbagai stigma negatif lainnya.
Salah satu ‘penyakit’ yang terjadi dalam pelayanan publik adalah “mal-administrasi”
khususnya “pungli” atau pungutan liar dengan transaksi yang relatif kecil (petty
corruption), tetapi melibatkan populasi yang sangat besar.[1] Prinsip market oriented pada Unit
Layanan Publik harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh
penyelenggara layanan (Pemerintah) harus mengutamakan pelayanan terhadap
masyarakat. Demikian juga prinsip Catalytic Government, mengandung
pengertian bahwa penyelenggara layanan harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya
penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan
masyarakat.
Terminologi
“market oriented” dalam kaitan
pelayanan menunjukkan adanya pengaruh nilai-nilai privat/bisnis dalam konteks publik.
Memang sejatinya terdapat korelasi dan saling mempengaruhi antara publik dan
bisnis, terutama pengaruh sektor bisnis terhadap sektor publik. Selain istilah market oriented, terdapat istilah lain
dalam ranah pelayanan publik yang merupakan adposi dari pelayanan sektor swasta
seperti efisiensi, customer satisfaction,
dan sebagainya. Konsep efisiensi menghendaki terciptanya keseimbangan antara
kinerja dan anggaran yang dikeluarkan (spending) untuk memperoleh
output/kinerja dimaksud. Apabila anggaran yang dikeluarkan lebih sedikit dari
nilai outputnya, maka hal demikian dikatakan efisien, dan sebaliknya. Sedangkan
customer satisfaction merujuk pada
kondisi kepuasan pelanggan/ masyarakat atas jenis layanan yang diberikan kepada
mereka, apakah pelayanan barang, jasa maupun administratif.
Guna
memastikan terlaksananya pelayanan publik yang semakin berkualitas, maka pada tahun 2009 Pemerintah telah menerbitkan
sebuah undang-undang yakni UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Amanat
undang-undang ini sangat jelas bahwa setiap organisasi penyelenggara pelayanan
– bersama-sama dengan pembina dan penanggung jawab pelayanan – bertanggung
jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan pelayanan publik.
Tuntutan akan pelayanan publik
yang semakin baik menjadi ciri masyarakat yang makin berkembang. Kondisi dan
perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai perlu disikapi secara bijak
melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai
aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat (trust). Organisasi penyelenggara pelayanan publik di daerah perlu
melakukan inovasi dalam pemberian pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan
lebih murah, sembari membenahi kelengkapan organisasinya seperti standar pelayanan,
maklumat pelayanan, mekanisme pengaduan dan sebagainya.
Tinjauan Konsep dan
Kebijakan
1. Konsep
Pelayanan Publik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan
bahwa “pelayanan adalah 1) perihal
atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh
imbalan (uang), dan 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual-beli
barang atau jasa (kamusbahasaindonesia.org). Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000)
didefinisikan sebagai “a system that
provides something that the public needs, organized by the government or a
private company”. Dari pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi
sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci
membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: a)
Pendidikan, b) Kesehatan,
c) Keagamaan, d) Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah,
penerangan, e)
Rekreasi: taman, teater, musium, turisme, f) Sosial, g) Perumahan, h)
Pemakaman/krematorium, i) Registrasi penduduk: kelahiran, kematian, j)Air
minum, dan k) Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan
standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang diberikan.
Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai
dengan dikeluarkannya executive order
12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi pemerintah
untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut:
“Identify customer who are, or should be,
served by the agency, survey the customers to determine the kind and quality of
service they want and their level of satisfaction with existing service, post
service standards and measure result against the best bussiness, provide the
customers with choice in both sources of services, and complaint system easily
accesible, and provide means to adress customer complaints.”
Di Inggris lebih dahulu dikenal citizen’s charter. Namun dalam perkembangannya
(teruutama di negara-negara persemakmuran) seringkali jadi salah kaprah, maka
dimunculkan istilah lainnya yaitu service first. Konsep Service First the New Charter Programme, yang berisi 9 prinsip
penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi pemerintah yang dilaksanakan
oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a. Menentukan standar pelayanan;
b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi
selengkap-lengkapnya;
c. Berkonsultasi dan terlibat;
d. Mendorong akses dan pilihan;
e. Memperlakukan semua secara adil;
f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika
terjadi kesalahan;
g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;
h. Inovatif dan memperbaiki; dan
i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.
2. Inovasi
Pelayanan Publik
Istilah inovasi dan
kreativitas kerap diidentikkan satu sama lain. Kedua istilah tersebut memang
secara konteks mempunyai hubungan kausal sebab-akibat. Sebuah inovasi biasanya
dihasilkan oleh sebuah daya kreativitas. Tanpa kreativitas, inovasi akan sulit
hadir dan diciptakan. Namun demikian, dalam kenyataannya, kehadiran inovasi
juga tidak mutlak mensyaratkan adanya kreativitas (Suwarno, 2008: 4). Jadi
secara konsep, inovasi berbeda dengan kreativitas.
Schumpeter (Halvorsen, 2005: 8) yang membatasi
pengertian inovasi yaitu “restricted
themselves to novel products and processes finding a commercial application in
the private sector”. Dalam pembatasan ini Schumpeter menekankan 2 (dua) hal
penting dari inovasi, yaitu: 1) Sifat kebaruan (novelty) dari sebuah produk. Dengan kata lain inovasi hanya
berhubungan dengan produk-produk yang bersifat baru, dan 2) Bahwa inovasi
berhubungan dengan proses pencarian aplikasi komersial di sektor bisnis.
Secara sederhana Albury (2003) mendefinisikan inovasi
sebagai new ideas that work. Artinya,
inovasi berhubungan erat dengan ide-ide baru yang bermanfaat atau dengan kata
lain inovasi dengan sifat kebaruannya harus mempunyai nilai manfaat. Sifat baru
dari inovasi tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diikuti dengan nilai
kemanfaatan dari kehadirannya. Secara rinci, Albury menjelaskan bahwa “successful innovation is the creation and
implementation of new processes, products, services, and methods of delivery
which result in significant improvements in outcomes efficiency, effectiveness,
or quality”. Hal ini berarti bahwa ciri dari inovasi yang berhasil adalah
adanya bentuk penciptaan dan pemanfaatan proses baru, produk baru, jasa baru
dan metode penyampaian yang baru, yang menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam
hal efisiensi, efektivitas maupun kualitas.
3. Kebijakan
Pelayanan
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara (MenegPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian
pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara Inovasi Kebijakan dan Pelayanan Publik pelayanan publik sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Di dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan
publik secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Pelayanan administratif,
2) Pelayanan barang, dan 3) Pelayanan jasa.
Di dalam Pasal 15 dan Bab
V Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa Penyelenggara
Pelayanan Publik wajib memenuhi 10 (sepuluh) unsur mengenai penyelenggaraan
pelayanan publik, yang meliputi:
a.
Standar Pelayanan
Standar pelayanan adalah tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedomanpenyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian
kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat
dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
b.
Maklumat Pelayanan
Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis
yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar
pelayanan. Maklumat pelayanan wajib dipublikasikan secara jelas dan luas. Penyelenggara
wajib menyusun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakteristik
layanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan secara jelas (Pasal 18).
c.
Sistem Informasi Pelayanan Publik
Sistem informasi pelayanan publik adalah
rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta
mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara pelayanan publik kepada
masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan latin, tulisan dalam huruf
braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual
ataupun elektronik. Sistem informasi pelayanan publik berisi semua informasi
pelayanan publik yang berasal dari penyelenggara pelayananan publik pada setiap
tingkatan dan sekurang-kurangnya memuat informasi yang meliputi : profil
penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan,
pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja.
d.
Pengelolaan Sarana, Prasarana dan/atau Fasilitas Pelayanan Publik
Penyelenggara pelayanan publik wajib mengelola
sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien,
transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap
pemeliharaan dan penggantian sarana, prasarana,dan fasilitas pelayanan publik. Penyelenggara
pelayanan publik melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana,
prasarana, dan fasilitas pelayanan publik dan melakukan pengadaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas,
efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan berkesinambungan.
e.
Pelayanan Khusus
Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban
memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu
antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban
bencana alam, dan korban bencana sosial sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan diberikan tanpa tambahan biaya.
f.
Biaya/Tarif Pelayanan Publik
Biaya/tarif pelayanan publik pada dasarnya
merupakan tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Penentuan biaya/tarif
pelayanan publikditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
g.
Perilaku Pelaksana dalam Pelayanan
Pelaksana pelayanan publik dalam
menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sesuai paradigma umum yang
berlaku di masyarakat yang diantaranya : adil dan tidak diskriminatif, cermat,
santun dan ramah, tegas, andal dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut,
profesional, tidak mempersulit, patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar,
menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara, tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terbuka dan mengambil langkah yang
tepat untuk menghindari benturan kepentingan, tidak menyalahgunakan sarana dan
prasarana serta fasilitas pelayanan publik, tidak memberikan informasi yang
salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif
dalam memenuhi kepentingan masyarakat, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan
dan kewenangan yang dimiliki, sesuai dengan kepantasan dan tidak menyimpang
dari prosedur.
h.
Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik
dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal
dilakukan oleh atasan langsung pelaksana pelayanan publik dan oleh pengawas
fungsional sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pengawasan eksternal
penyelenggara pelayanan publik dilakukan oleh masyarakat (berupa laporan/
pengaduan masyarakat), oleh Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik (Ombudsman
RI), dan oleh DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
i.
Pengelolaan Pengaduan
Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana
pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan
serta berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan dari penerima
pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesaian yang cepat dan tuntas. Juga
penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima layanan,
rekomendasi Ombudsman RI, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam
batas waktu tertentu, serta berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan
tersebut. Penyelenggara pelayanan publik juga berkewajiban mengumumkan nama dan
alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang
disediakan.
j.
Penilaian Kinerja
Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban
melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala
dengan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standar pelayanan.
Terkait standar
pelayanan, Pemerintah telah menerbitkan PP No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman
Standar Pelayanan. Setiap
penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan
Standar Pelayanan serta menetapkan Maklumat Pelayanan dengan memperhatikan
kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Komponen standar pelayanan menurut
PP 15/2014 dibedakan menjadi dua bagian:
a.
Komponen SP
yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan (service delivery), meliputi: persyaratan; sistem, mekanisme dan
prosedur; jangka waktu pelayanan; biaya/tarif; produk pelayanan; penanganan
pengaduan, saran dan masukan.
b.
Komponen SP
yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing), meliputi: dasar hukum; sarana dan prasarana dan/atau
fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasa internal; jumlah pelaksana; jaminan
pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan evaluasi kinerja
pelaksana.
Gambaran Pelayanan
Publik di Provinsi NTT
Pembentukan organisasi
perangkat daerah Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) di
lingkup Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wujud komitmen pemerintah daerah
untuk meningkatkan pelayanan yang prima kepada masyarakat daerahnya. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam Perda No. 5 Tahun 2009 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
Provinsi NTT, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Gubernur No. 26 Tahun
2011 tentang Pendelegasian Wewenang dari Gubernur kepada Kepala KPPTSP Prov.
NTT untuk menandatangani Perizinan Tertentu di Lingkungan Pemerintah NTT.
Terkait standard operating procedure
(SOP) KPPTSP tertuang dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 15 Tahun 2012
Tentang Standard Operating Procedure
(SOP) Pelayanan Perizinan pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
Provinsi Nusa Tenggara Timur.[2]
Keberadaan KPPTSP ini diharapkan
dapat melayani kepentingan masyarakat dalam mengurus perizinan dengan baik yang
didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan publik dengan berpegang teguh pada
filosofi “anggaran untuk rakyat menuju sejahtera” atau sering diakronimkan
menjadi “Anggur Merah”. Anggur Merah merupakan tekad untuk mensejahterakan rakyat NTT berlandaskan pada birokrasi
pelayanan publik yang murah dan cepat melalui alokasi belanja publik yang lebih
besar dibandingkan belanja aparatur. Dengan kata lain, Pemerintah Provinsi bertekad
untuk meningkatkan proporsi bantuan langsung dalam anggaran belanja publik yang
disalurkan melalui SKPD untuk membangkitkan perekonomian yang tumbuh dan
berkembang ditengah masyarakat serta
pertumbuhan produktifitas sektor riil, untuk peningkatan daya beli
masyarakat.
Sesuai Perda No. 5 Tahun 2009 pasal 3 dan 4, tugas pokok KPPTSP Prov.
NTT adalah "Membantu Gubernur dalam melaksanakan koordinasi
dan Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi di Bidang Perizinan dan non
Perizinan secara terpadu dengan prinsip Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi,
simplikasi, keamanan dan kepastian". Sedangkan fungsinya meliputi: 1) Menyusun
Program Kantor PPTSP, 2) Menyelenggarakan
Pelayanan Administrasi perizinan; 3) Melakukan koordinasi proses pelayanan perizinan;
4) Melakukan pemantauan dan evaluasi proses pemberian pelayanan perizinan; 5) Melakukan
administrasi ketatausahaan kantor, 6) Melaksanakan
fungsi lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Kinerja pelayanan publik
oleh KPPTSP Provinsi NTT harus diakui masih belum mencapai kondisi yang
diharapkan. Berdasarkan hasil pemeringkatan Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2014, penilaian kinerja terhadap
KPPTSP Provinsi NTT berada pada kategori C (sedang) dengan skor di atas 400
poin, (skor maksimal 1.000 poin) lebih baik dibandingkan beberapa provinsi di
kawasan timur Indonesia, walaupun belum sebaik provinsi-provinsi di Jawa-Bali,
Kalimantan dan Sumatera. Untuk kategori rumah sakit, penilaian terhadap RSUD
Prof. Dr. WZ Yohannes Kupang berada pada kategori D (kurang) dengan skor di
bawah 300 poin. Penilaian kinerja oleh Kemenpan dan RB yang bernama “Citra
Bakti Abdi Negara” atau disingkat CBAN dan “Citra Pelayanan Prima” atau CPP
merupakan pelaksanaan Permenpan dan RB No. 38 Tahun 2012 dan Permenpan dan RB
No. 66 Tahun 2012.
Kriteria yang digunakan
untuk menilai kinerja pembina dan kinerja unit pelayanan publik adalah sebagai
berikut:
Tabel 1.
Kriteria Penilaian Kinerja Pelayanan Publik
No.
|
Komponen
|
Nilai Max.
|
Bobot
|
Ket.
|
I.
|
Kinerja Pembina/
Penanggung Jawab
|
|||
A.
|
Kelompok Indikator Implementasi UU No. 25/2009
|
700
|
|
|
B.
|
Kelompok Indikator Kinerja Penunjang dan Hasil
Kinerja
|
300
|
|
|
Total I
|
1.000
|
60%
|
|
|
II.
|
Kinerja Unit Pelayanan
|
|||
1.
|
RSUD
|
1.000
|
|
Wajib
|
2.
|
PTSP
|
1.000
|
|
Wajib
|
3.
|
Pelayanan Informasi
|
1.000
|
|
Wajib
|
4.
|
Unit Pelayanan Pilihan 1
|
1.000
|
|
|
5.
|
Unit Pelayanan Pilihan 2
|
1.000
|
|
|
Rata-rata
|
1.000
|
40%
|
|
|
Nilai Provinsi
|
|
100%
|
|
Sumber: Permenpan dan RB No. 38 Tahun 2012
Kondisi pelayanan publik
Provinsi NTT digambarkan oleh Perwakilan Ombudsman NTT-NTB termasuk dalam
kategori “buruk” bersama-sama dengan beberapa daerah lainnya. Sesuai tugasnya
sebagai lembaga pengaduan pelayanan publik, Ombudsman memberikan penilaian terhadap
pemda berdasarkan ‘aduan-aduan’ yang masuk dan ketidakpatuhan terhadap regulasi
pelayanan publik. Untuk pelayanan publik di Provinsi NTT, jenis keluhan
terbanyak didominasi mal-administrasi, dengan adanya penundaan berlarut,
perbuatan tidak patuh, konflik kepentingan, penyimpangan prosedur, tidak
memberikan pelayanan, permintaan imbalan uang barang dan jasa. Sementara itu,
instansi pelayan publik yang paling dikeluhkan adalah Satuan Reserse dan
Kriminal (Reskrim) serta Lalu Lintas (Lantas).
Terkait pelayanan bidang
pemerintahan, sektor pendidikan dalam hal ini menyangkut layanan penerimaan
peserta didik baru (PPDB) tercatat paling besar melakukan pungutan liar
(Pungli). Ombudsman NTT mencatat total pungli dari 249 sekolah yang ada
mencapai angka Rp 28 miliar (data 2014). Meskipun indikator penilaian
yang digunakan Ombudsman dipertanyakan sebagaian masyarakat dan pejabat
pemerintah daerah yang tidak puas akan hasil penilaian tersebut, menurut kami
hal ini dapat dijadikan catatan semua pihak
untuk meningkatkan pelayanan yang lebih baik ke depan dengan mematuhi
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam regulasi pelayanan publik.
Dalam hal pelayanan
dasar, khususnya pelayanan kesehatan dan pendidikan masih dalam kondisi yang
belum memuaskan. Hasil riset DSF – desentralization support facility – melalui
proyek Governance and Decentralization
Survey 2006 diperoleh gambaran sebagai berikut:
1.
Sektor Kesehatan
Secara
umum, akses masyarakat NTT terhadap pelayanan kesehatan lebih banyak bertumpu
pada fasilitas kesehatan publik (Puskesmas dan Puskesmas Pembantu). Pelayanan
rawat jalan Puskesmas dilaporkan tersedia secara reguler dengan rata-rata waktu
pelayanan 35,3 jam per minggu (senin-sabtu). Adanya praktik kesehatan swasta
yang memiliki jam praktik fleksibel dan bersedia memberikan pelayanan kesehatan
atau mengunjungi pasien sewaktu-waktu jika dibutuhkan, diperkirakan dapat
membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Meskipun
waktu tempuh ke fasilitas kesehatan ekitar 1,5 sampai 2 kali lipat dari waktu
tempuh rata-rata nasional, namun rata-rata waktu tempuh tersebut masih dalam
batas wajar. Terkait biaya, secara umum biaya berobat di NTT baik di fasilitas
kesehatan publik maupun swasta sedikit lebih mahal (Rp. 20.000) dibanding
rata-rata nasional (sekitar Rp. 19.000).
Tabel 2. Tarif Pelayanan Kesehatan NTT
|
Nasional
|
NTT
|
||
Puskesmas
|
||||
Biaya
Administrasi/Loket
|
2.143
|
(145)
|
2.978
|
(569)
|
Rawat
Jalan (tanpa tindakan medis)
|
2.401
|
(185)
|
3.014
|
(602)
|
Ekstraksi
Gigi Biasa (tanpa faktor penyulit)
|
5.293
|
(404)
|
3.557
|
(592)
|
Pemeriksaan
Kesehatan untuk Lamaran Kerja
|
4.696
|
(247)
|
3.760
|
(619)
|
Pemeriksaan
Haemoglobin
|
2.752
|
(205)
|
2.109
|
(491)
|
Praktik Swasta
|
||||
Periksa,
termasuk obat
|
19.188
|
(492)
|
19.908
|
(1.392)
|
Perawatan
Kehamilan
|
16.203
|
(1.000)
|
18.208
|
(2.641)
|
Melahirkan
|
265.976
|
(11.149)
|
176.628
|
(18.403)
|
Imunisasi
Dasar Anak-Anak (BCG, DPT, Anti Polio, dsb)
|
9.892
|
1.224
|
19.900
|
(3.460)
|
Imunisasi
Lainnya Anak-Anak (MMR, Meningitis)
|
28.722
|
(5.599)
|
48.000
|
(20.826)
|
Pil
KB
|
6.608
|
(356)
|
9.768
|
(970)
|
Suntik
KB
|
14.561
|
(292)
|
15.721
|
(1.253)
|
Sumber: GDS2,
dalam Pattinasarany dan Chandra Kusuma, 2008.
Dari tabel di atas dapat dilihat perbandingan tarif
pelayanan kesehatan di Puskesmas dan pelayanan kesehatan oleh swasta, baik
nasional maupun lokal NTT. Beberapa item pelayanan menunjukkan tarif lokal NTT
lebih murah dibandingkan dengan tarif secara nasional misalnya pelayanan cabut
gigi biasa tanpa faktor penyulit lebih murah Rp. 592,- dibandingkan tarif
rata-rata nasional untuk pelayanan di Puskesmas. Demikian pula untuk pelayanan
pemeriksaan kesehatan lamaran kerja dan pemeriksaan haemoglobin. Adapun
pelayanan swasta, terlihat tarif pelayanan melahirkan di NTT lebih murah
dibandingkan rata-rata nasional, namun untuk pelayanan lainnya lebih mahal.
Terkait
dengan persepsi masyarakat NTT untuk peningkatan pelayanan kesehatan, hampir
semua responden menyatakan perlu peningkatan pelayanan tersebut. Terdapat dua
aspek yang paling diharapkan dapat ditingkatkan adalah ketersediaan obat/vaksin
dan fasilitas kesehatan lainnya. Untuk mendukung upaya tersebut, sekitar
separuh responden bersedia membayar lebih tinggi dari biaya sebelumnya.
2.
Sektor Pendidikan
Akses
bagi para siswa ke sekolah tidak bermasalah, hal ini terlihat rata-rata waktu
tempuh untuk mencapai sekolah hanya sekitar 30 menit. Biaya transportasi tidak
terlalu tinggi namun cukup memberatkan bagi mereka yang berasal dari keluarga
miskin. Sementara, sosialisasi mengenai biaya yang akan dibebankan oleh sekolah
kepada orang tua mereka cukup tinggi. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
mampu mengurangi biaya sekolah. Secara umum, biaya sekolah juga lebih murah di
NTT dibandingkan rata-rata nasional, misalnya uang buku untuk sekolah dasar di
NTT sebesar Rp. 23,700,- sedang rata-rata nasional sebesar Rp. 52.200,-. Untuk
uang buku sekolah menengah di NTT sebesar Rp. 64.900,- sedangkan secara
nasional sebesar Rp. 110.600,-.
Tabel 3. Tarif Pelayanan Pendidikan Dasar
NTT
|
Nasional
(SD)
|
NTT
(SMP-SMA)
|
||
Biaya
Sekolah Sem I TA 2005/2006
|
||||
Pihak
Sekolah mensosialisasikan biaya sekolah
|
64,4
|
76,7
|
71,2
|
75,1
|
Sekolah
mendapatkan BOS
|
79,3
|
91,2
|
52,6
|
57,6
|
Mengurangi
pengurangan biaya sekolah akibat BOS
|
50,5
|
47,9
|
32,5
|
26,8
|
Uang
pendaftaran (ribuan rupiah)
|
21,0
|
7,9
|
177,8
|
141,2
|
Uang
iuran bulanan (ribuan rupiah)
|
2,9
|
5,5
|
24,3
|
34,1
|
Uang
buku (ribuan rupiah)
|
52,2
|
23,7
|
110,6
|
64,9
|
Sumber: GDS2, dalam Pattinasarany dan
Chandra Kusuma, 2008.
Tabel
di atas menggambarkan perbandingam tarif/biaya sekolah tingkat SD dan SMP/MTS,
SMA/MA baik rata-rata nasional maupun tarif di NTT. Yang menarik adalah bahwa
pemberian dana BOS dari Pemerintah memang mampu mengurangi biaya sekolah para
siswa di NTT, namun angkanya masih di bawah rata-rata nasional baik untuk
tingkatan SD maupun SMP/MTS, SMA/MA.
Di
Provinsi NTT masih banyak anak putus sekolah karena alasan ekonomi. Dari data responden rumah tangga
tercatat sejumlah 229 anggota rumah tangga usia sekolah yang pada saat
pelaksanaan survei di NTT sedang tidak bersekolah. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 17 persen tidak bersekolah karena telah lulus SD/SMP/SMA/ sederajat.
Hampir setengah (49,3 persen) menyatakan ketidakmampuan untuk membayar biaya
sekolah sebagai alasan tidak menyekolahkan anaknya. Alasan lain yang disebutkan
adalah: karena anak telah bekerja (8,7 persen) dan karena anak memang sudah
tidak ingin sekolah lagi (21,4 persen). Secara umum, alasan yang dinyatakan
oleh responden rumah tangga pada tingkat nasional serupa dengan kecenderungan
di NTT. Dari temuan tersebut terlihat bahwa faktor ekonomi sangat menonjol
sebagai penyebab anak tidak sekolah. [3]
Sementara
itu, kondisi umum sekolah (gedung, peralatan, guru, dan sarana pendukung
lainnya) di NTT banyak yang kurang mendukung proses belajar siswa. Meskipun
komite sekolah sudah terbentuk, namun banyak yang belum berfungsi optimal.
Selain itu, pelibatan orang tua siswa dan masyarakat tergolong masih rendah.
Kondisi ini kemungkinan berpengaruh pada kurang memuaskannya prestasi belajar
siswa dalam UAS dan UAN.
Terkait
persepsi masyarakat, sekitar tiga perempat masyarakat NTT menilai terjadi
peningkatan pelayanan pendidikan. Namun hampir seluruh responden menginginkan
pelayanan tersebut dapat terus ditingkatkan. Dua aspek yang menjadi prioritas
untuk ditingkatkan terkait dengan prestasi belajar siswa dan fasilitas
pendidikan di sekolah. Keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk
kesediaan membayar biaya pendidikan lebih tinggi juga relatif cukup tinggi
mengingat cukup banyak masyarakat yang secara ekonomi termasuk dalam kategori
miskin.
Pentingnya Melakukan
Inovasi Pelayanan Publik
Gambaran pelayanan
publik yang terjadi di Provinsi NTT sebagaimana disebutkan dalam laporan GDS2
tersebut, menunjukkan level capaian kinerja pelayanan kesehatan dan pendidikan
pada saat itu. Penulis sangat yakin berbagai upaya telah dilakukan untuk
mencapai level pencapaian kinerja dimaksud, namun ke depan masih memerlukan peningkatan berupa prasyarat
inovasi maupun inovasi-inovasi yang terrencana dan terlembaga serta berlangsung
terus-menerus.
1.
Perubahan (reform) mindset dan culture
set
Perubahan mindset
dan culture set menjadi prasyarat
utama dalam melakukan inovasi pelayanan publik.[4] Mindset sering dimaknai sebagai pola
pikir seseorang, yang akan berpengaruh pada pola kerja dan pola tindakan
seseorang. Sedangkan culture set
diartikan sebagai pola budaya, dalam hal ini budaya masyarakat dan aparatur
pemerintah yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Perubahan pola
pikir ini bukan hanya diwajibkan bagi pejabat dan petugas pemberi layanan,
namun juga bagi masyarakat/penerima layanan publik.
Pada tahap awal, perubahan pola pikir dan budaya
kerja dapat dipaksakan kepada target
groups, dengan memberikan ganjaran dan hukuman. Namun melalui internalisasi
yang terus-menerus, sifat paksaan tersebut lambat-laun tidak akan dirasakan
karena berganti dengan munculnya kesadaran dari target groups itu sendiri untuk melayani pelanggannya dengan lebih
baik.
Di beberapa institusi – Polri – misalnya, bahkan
melaksanakan pelatihan (training) untuk mengubah pola pikir anggotanya. Senada
dengan itu, institusi pemda pun dapat melakukan hal yang sama, apakah melalui
pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklatpim), diklat teknis, maupun diklat
fungsional. Perubahan mindset dapat disusun dan disampaikan dalam satu mata
diklat tersendiri maupun dapat pula ‘disisipkan’ dalam mata diklat lain yang
sesuai.
2.
Optimalisasi unit pelayanan terpadu satu
pintu
Di berbagai daerah sudah membentuk unit
organisasi (SKPD) yang menangani pelayanan terpadu satu pintu, termasuk di
Provinsi NTT yakni dengan terbitnya Perda No. 5 Tahun 2009. Namun harus diakui,
kebijakan ini banyak dihadapkan pada tantangan di antaranya: kurangnya tenaga
kerja terdidik, infrastruktur yang buruk, dan kerangka kerja kebijakan yang
berbelit-belit (World Bank, 2012 dalam Marsono, 2014).
Oleh karena itu, upaya mengoptimalkan kelembagaan
PTSP menjadi tugas penting bagi pemerintah daerah. Peleburan (amalgamation) PTSP ke dalam BKPMD yang
dicanangkan tahun ini mungkin akan menghasilkan organisasi yang ramping, namun
yang terpenting penggabungan itu akan memberikan dampak nyata dalam progress
invistasi di Provinsi NTT ke depan.
3.
Kemitraan pemerintah daerah dengan swasta
Praktik inovasi pelayanan publik di sektor
kesehatan antara lain terlihat pada upaya-upaya yang ditempuh Kota Kupang
bekerjasama dengan AIPMNH (Australia Indonesia Partnership
for Maternal and Neonatal Health) atau Kemitraan Indonsia dan Australia
untuk Kesehatan Ibu dan Bayi. Inovasi tersebut di antaranya adalah
pengembangan Puskesmas Pasir Panjang sebagai Puskesmas Ramah Anak yang
mendukung Program Kota Layak Anak di Kota Kupang. Sementara Puskesmas Bakunase
sedang dalam proses untuk menuju Puskesmas Ramah Remaja , di Puskesmas Alak
muncul inovasi untuk menyediakan Klinik Khusus Laki – Laki sehingga puskesmas
ini lebih responsif gender, akses lansia juga dipermudah dalam pelayanan di
Puskesmas Alak dimana mereka tidak harus antri di loket tapi bisa langsung
dilayani di ruangan khusus bagi lansia.
Ada beberapa
dukungan kebijakan dari Pemerintah Kota untuk pelaksanaan program ini, di antaranya
adalah: 1) Adanya RPJMD Kota Kupang 2013 – 2017 yang berperspektif Gender &
Perlindungan Anak, 2) Juknis BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) 2013 memasukan
kegiatan Reformasi Puskesmas sebagai paket kegiatan, 3) Komitmen Pemkot untuk mendorong dimulainya
proses reformasi puskesmas di Sepuluh Puskesmas di Kota Kupang pada tahun
2014, dan 4) Rencana Pendekatan Pelayanan Kesehatan Kepada Masyarakat Melalui
Call Center.
Puskesmas
reformasi merupakan kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas yang berorientasi pada kualitas pelayanan dan kepuasan pengguna
layanan dengan melibatkan para pihak dalam proses pengembangannya.
Perbaikan pelayanan dilakukan secara komprehensif di internal
Puskesmas maupun melalui pemberdayaan masyarakat di wilayah pelayanan Puskesmas
melalui pendekatan multi pihak.
Reformasi
dilakukan terhadap pola pikir, budaya kerja dan sistem menajemen sehingga
bermuara pada terwujudnya pelayanan prima di Puskesmas guna mendukung 3 misi
RPJMD Kota Kupang periode 2013-2017 yaitu : 1) Misi 2 Mewujudkan Sumber Daya Manusia dan
Masyarakat Kota Kupang yang Berkualitas, dengan sasaran pada Peningkatan
kualitas SDM yang memiliki tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi
serta berbudaya, 2) Misi 3
Meningkatkan Mutu Pelayanan Publik & Penegakan Supremasi Hukum, penyelenggaraan
pemerintah yang baik & bersih sehingga mampu memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat disertai dengan penegakan supremasi hukum dan hak asasi
manusia, dan 3) Misi 5
Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat, peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang memiliki kehidupan layak, terpenuhinya kebutuhan dasar dengan
titik berat pada penanggulangan kemiskinan, penanganan penyandang masalah
kesejahteraan sosial, pengarusutamaan gender, perlindungan anak serta mitigasi
bencana.
Penutup
Organisasi sektor
bisnis telah menyadari pentingnya inovasi jauh sebelum sektor publik menjadikan
inovasi sebagai milestone-nya dalam mencapai keberhasilan. Mereka menjadikan perubahan
dan dinamika lingkungan strategis sebagai faktor “peluang organisasi” bukan
sebagai “hambatan organisasi” untuk bertarung pada level kompetisi yang semakin
berat. Kebutuhan akan daya
inovasi dalam organisasi menciptakan apa yang dikenal dengan
“intrapreneurship”, yaitu melalui devolving
power, membuat unit “pabrik ide” yang bertugas mencari ide-ide baru, serta
mencari dan merekrut pegawai-pegawai yang inovatif.
Pada ranah lain, organisasi sektor publik – termasuk Pemda – berupaya
menerapkan kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan tugasnya, yang terkait
erat dengan pelayanan publik. Namun demikian, inovasi kebijakan dan pelayanan
yang dilakukan di sektor publik sering dihadapkan pada persoalan pelik karena
intervensi kebiasaan birokrasi yang cenderung negatif.
Berbagai tantangan pemberian layanan publik – baik pelayanan administratif,
barang, maupun jasa – sering dihadapkan pada minimnya kemampuan pelayan publik
(SDM), kurangnya sarana-prasarana, dan peraturan yang kurang mendukung. Untuk
itu, perlu perubahan pola pikir & budaya kerja, peningkatan jumlah dan
kualitas sarpras, penyusunan peraturan perundangan dan perlu membangun
kemitraan peemrintah daerah dengan swasta untuk mendukung implementasi
pelayanan publik yang semakin baik.
Daftar Pustaka
Albury, David. 2003. Innovation in the Public Sector. Discussion
paper. The Mall. London.
Halvorsen, Thomas, et al. 2005. On the Differences between Public and
Private Sector Innovations. Publin Report. Oslo.
Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi
Daerah. Grasindo: Jakarta.
Pattinasarany, Daan dan Candra Kusuma.
2006. Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Decentralization Support Facility: Jakarta
Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga
Administrasi Negara Press: Jakarta.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 112.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar
Pelayanan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
http://www.vnewsmedia.com/ntt-masuk-10-besar-pelayanan-terburuk/
diakses pada tanggal 9 September 2015
http://aipd.or.id/target-areas/east-nusa-tenggara/
diakses pada tanggal 9 September 2015
http://dinkes-kotakupang.web.id/warta-dinkes/272-reformasi-puskesmas-mendorong-inovasi-pelayanan-di-kota-kupang.html
diakses pada tanggal 9 September 2015
http://kamusbahasaindonesia.org/pelayanan/mirip
diakses pada tanggal 10 September 2015
http://www.slideshare.net/researchersyndicate/efektivitas-kelembagaan-ptsp-marsono
diakses pada tanggal 20 September 2015
[1] Korupsi kecil-kecilan dalam pelayanan terjadi di banyak tempat dan
melibatkan banyak orang sehingga akan berakumulasi pada nilai korupsi yang
besar pula. Tidak hanya itu, perilaku korup tersebut telah merusak perilaku
aparatur dan masyarakat.
[2] Pada tahun 2015, KPPTSP akan digabungkan ke BKPMD, menjadi salah
satu bidang di BKPM Provinsi NTT. Hal ini merupakan amanat UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dan Keppres No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan
Perijinan Satu Pintu. Kegiatan pelayanan satu pintu dijalankan oleh satu
lembaga dan diseragamkan di seluruh Indonesia.
[3] Hasil Survey GDS2, Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan NTT
2006.
[4] Mindset dan culture set juga menjadi area perubahan
dari 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi sebagaimana diatur dalam
Perpres No. 81 Tahun 2010. Demikian pentingnya perubahan mindset dan
culture sehingga menjadi concern pemerintahan
Jokowi melalui ‘revolusi mental’-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar